“Spiritualitas Komunikasi Keluarga”
Kejadian 45: 1-15
45:1 Ketika itu Yusuf tidak dapat menahan hatinya
Keluarga adalah lembaga atau unit kemasyarakatan yang terkecil dan terpenting di dunia ini. Disebut demikian karena ia menentukan tinggi rendahnya mutu kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Singgih Gunarsa mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan hubungan darah. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman dan nyaman. Keluarga menjadi pusat pembentukan relasi dan tempat untuk mendemonstrasikannya di antara manusia.
Aaron Beck seorang terapis kognitif menulis sebuah buku yang berjudul Love is Never Enough meyakinkan para pembacanya bahwa kasus-kasus tidak baik dalam komunikasi menunjukkan adanya ketidak mampuan seseorang untuk mengirimkan dan menerima pesan dengan wajar dan baik. Dalam keluarga, terwujudnya komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: oleh kata-kata, istilah yang dipakai, suasana hati, keadaan fisik, nada suara, mimik atau gerak tubuh, kepribadian atau temperamen dan pola pikir.
Komunikasi merupakan aktivitas sehari hari bagi siapa pun. Meski demikian, komunikasi bukanlah perkara yang mudah, terutama di dalam kehidupan keluarga modern. Jika komunikasi jelek, maka akan muncul salah paham dan tingginya frekuensi pertengkaran. Komunikasi yang baik dalam keluarga membutuhkan kesediaan, kerendahan hati untuk mau mendengarkan dan respek kepada lawan bicaranya. Masalah dalam keluarga dimungkinkan muncul dari pola komunikasi yang jelek dan ketidakmampuan setiap anggota keluarga berelasi dengan baik. Bacaan kita hari ini bisa menjadi sebuah pembelajaran yang baik bagi keluarga-keluarga modern.
Saat terjadi kelaparan melanda seluruh negeri Israel, posisi Yusuf sudah menjadi Zafnat-Paaneah atau orang kepercayaan Firaun di Mesir. Ia menjadi sosok yang dipercaya Firaun. Kepadanya diberikan cincin oleh Firaun sebagai simbol kuasa dan kemuliaan. Akibat kelaparan yang melanda tanah leluhurnya, saudara-saudara Yusuf menyintas ke Mesir dan menjumpainya untuk meminta bantuan pemenuhan kebutuhan pangan.
Terhadap saudara-saudaranya yang telah berlaku jahat pada Yusuf, sebenarnya ia bisa melakukan balas dendam saat mereka datang untuk meminta bantuannya. Yusuf mengalami gejolak batin yang hebat saat berjumpa dengan mereka. Hatinya tersentuh ketika melihat saudara-saudaranya menunjukkan kasih yang besar kepada ayahnya, serta kepada Benyamin, adiknya. Dari belas kasih itu, Yusuf mampu mengolah komunikasi buruk dengan saudara-saudaranya di masa lampau dan menatanya untuk mewujudkan komunikasi yang lebih baik. Perubahan model komunikasi yang dilakukan Yusuf itu tampak dalam Kejadian 45: 1-15.
Ayat 7-8 menuturkan Yusuf yang mampu mengembangkan spiritualitasnya melalui komunikasi yang memulihkan. Pengembangan spiritualitas itu terjadi setelah ia bergumul dengan Tuhan Allah. Saat bertemu dengan saudara-saudaranya setelah terpisah dengan mereka selama 13 tahun, ia tidak menyimpan dendam. Hatinya penuh dengan pengampunan. Relasi bersama Allah menjadikannya mampu membangun relasi bersama saudara-saudaranya kembali dengan pengampunan. Komunikasi dengan semangat kasih di antara Yusuf dan saudara-saudaranya mewujudkan kehidupan dalam kasih dan persaudaraan sejati. Mereka mampu mewujudkan kehidupan keluarga yang saling mendukung satu dengan yang lain. Dengan saling mendukung, mereka dapat menghadapi persoalan hidup. Melalui komunikasi yang baik, Yusuf mampu menyampaikan refleksi hidupnya. Ia pernah menderita akibat dibenci dan difitnah. Namun, dalam penderitaannya Tuhan tetap menyertai hidupnya. Saat ia dijual sebagai budak, saat menjadi budak di rumah Potifar, saat difitnah oleh istri Potifar, dan di dalam penjara, Tuhan senantiasa menyertainya. Demikian juga saat Yusuf menjadi Zafnat-Paaneah, Tuhan Allah tetap menyertainya.
Model komunikasi yang dibangun oleh Yusuf di dasari dengan sikap rendah hati. Yusuf tidak pernah meninggalkan Tuhan Allah. Hati yang senantiasa terpaut kepada Allah menjadi modal pembentukan spiritualitas keluarga yang handal. Ia dapat mengampuni saudara-saudaranya dengan ketulusan. Inilah usaha yang dilakukan oleh Yusuf. Ia mengolah, menata ulang pengalaman pahitnya dan mengubah dengan pola komunikasi yang mengampuni. Yusuf memutus model komunikasi buruk ketika mereka masih bersama sanak saudaranya dengan rekonsiliasi dan kesatuan.
Bagi keluarga saat ini, pola komunikasi yang efektif akan membuat setiap anggotanya mengembangkan cara-cara serta menciptakan relasi yang baik. Komunikasi yang sehat dalam keluarga sangat mendukung terjadinya penyesuaian tingkah laku di antara anggota keluarga. Inilah kunci dari kebahagiaan hidup berkeluarga. Pengalaman pahit yang pernah dialami di masa lampau harus diolah berdasarkan pengalaman iman bersama dengan Tuhan Allah agar ditemukan makna positif bagi hidupnya. Spiritualitas komunikasi keluarga yang mengampuni perlu dibiasakan. Tindakan yang dilakukan Yusuf menjadi model yang baik. Oleh karena itu, mari kita berkomitmen untuk mengolah model komunikasi yang buruk menjadi model spiritualitas komunikasi keluarga yang mengampuni. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin.